A. PENGERTIAN
Emboli cairan amnion adalah suatu gangguan kompleks yang secara klasik ditandai oleh terjadinya hipotensi, hipoksia, dan koagulopati konsumtif secara mendadak. Manifestasi klinis sangat bervariasi dan mungkin saja hanya salah satu di antara ketiga tanda klinis ini yang dominan atau malah tidak terjadi sama sekali. Sindrom ini mutlak jarang dijumpai, namun sindrom ini merupakan kausa umum kematian ibu (Berg dkk., 1996; Koonin dkk., 1997). Dengan menggunakan data dari 1,1 juta pelahiran di California, Gilbert dan Danielsen (1999) memperkirakan frekuensinya sekitar 1 kasus per 20.000 pelahiran.
Pada kasus-kasus yang jelas, gambaran klinis sering dramatik. Gambaran klasik adalah seorang wanita yang berada dalam tahap akhir persalinan atau masa pospartum dini mulai kehabisan nafas, kemudian dengan cepat mengalami kejang atau henti kardiorespirasi disertai penyulit koagulasi intravaskular desiminata, perdarahan masif, dan kematian. Gambaran klinis keadaan ini tampaknya sangat bervariasi. Penelitian pernah menangani sejumlah wanita yang menjalani persalinan pervaginam non komplikata kemudian mengalami koagulasi intravaskular diseminata akut dan parah tanpa gejala-gejala kardiorespirasi. Karenanya, pada sebagian wanita, koagulopati konsumtif tampaknya merupakan forme fruste (bentuk atipikal) dari emboli cairan amnion (Davies, 1999; Porter dkk., 1996). Gambaran klinis lainnya berupa trias gejala yaitu ketuban pecah, diikuti sesak nafas, dan syok, serta dapat diikuti perdarahan.
Pengertian lain menyebutkan bahwa emboli air ketuban merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada persalinan tetapi kejadiannya tidak dapat diduga, tidak dapat dihindari, sangat berbahaya dan sulit untuk diobati dengan baik. Peristiwa ini dikemukakan pertama kali oleh Meyer ( 1927 ). Kejadiannya satu diantara 80.000 dan 800.000 persalinan.
B. FAKTOR PRESDIPOSISI
Embolisme cairan amnion dapat terjadi kapan saja selama kehamilan. Embolisme ini paling sering berkaitan dengan persalinan dan masalah lain yang terkait, tetapi kasus embolisme diawal kehamilan dan pascapartum juga telah didokumentasikan. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa paritas meningkat resiko ibu atau bahwa embolisme cairan amnion terjadi akibat penggunaan oksitoksik.
Resiko masukknya cairan amnion berkaitan dengan terpajannya sirkulasi maternal terhadap cairan amnion walaupun hanya sedikit. Masuknya cairan amnion dari uterus ke dalam saluran maternal dapat bersifat laten, dan terjadi akibat robekan pada selaput ketuban. Kemungkinan masuknya cairan amnion ke dalam sirkulasi di bawah tekanan juga dapat terjadi, meskipun aktivitas uterus hipertonik yang terlihat dalam beberapa kasus merupakan akibat hipoksia uterus yang terjadi pada fase pertama, bukan sebagai prekusor kondisi tersebut. Hipertonus uterus terjadi sebagai respon terhadap kolaps kardiovaskuler dan mencegah masuknya cairan amnion ke dalam sirkulasi maternal, bukan memompa cairan amnion ke dalam sirkulasi maternal.
Barier antara sirkulasi maternal dan kantong amnion dapat rusak jika terjadi abrupsio plasenta, saat dalam plasenta mengalami kerusakan. Prosedur seperti pemasanagan katater intrauterus dan perobekan selaput ketuban juga akibat hal ini. Embolisme cairan amnion dapat terjadi selama seksio sesaria dan tidak dapat dicegah menggunakan secsio sesarea. Embolisme ini juga dapat terjadi berkaitan dengan ruptur atau perforasi uterus. Trauma dapat terjadi selama manipulasi intrauterus, seperti versi podalik internal. Kemungkinan masuknya cairan amnion ke dalam sirkulasi maternal juga dapat terjadi selama terminasi kehamilan.
Embolisme cairan amnion merupakan kondisi yang sulit diprediksi dan sulit dicegah. Embolisme cairan amnion menyebabkan angka mortallitas maternal yang tinggi. Delapan wanita meninggal pada tahun 1997-1999, diagnosisnya ditetapkan setelah kematian. Berdasarakan Confisdential Enquiry Report di Inggris, usia dianggap sebagai faktor resiko yang konsisten, dan wanita yang berusia lebih dari 30 tahun beresiko mengalami hal ini.
Predisposisi emboli air ketuban meliputi multiparitas wanita gemuk, persalinan dengan oksitosin drip, persalinan operasi, persalinan presipitatus ( kurang dari 3 jam ), pada IUFD atau missed abortion. Bila dilihat dari waktu kejadiannya, kondisi ini dapat terjadi pada persalinan spontan, persalinan dengan seksio sesarea, dan waktu terjadi rupture.
C. PATOGENESIS
Emboli cairan amnion semula dilaporkan oleh Steiner dan Luschbaugh pada tahun 1941, yang mendapatkan bukti adanya debris janin di sirkulasi paru sekelompok wanita yang sekarat saat bersalin. Namun, studi-studi selanjutnya oleh Adamsons dkk. (1971) serta Stolte dkk. (1967) jelas memperlihatkan bahwa cairan amnion itu sendiri tidak berbahaya, bahkan apabila diinfuskan dalam jumlah besar. Data kumulatif dari National Amniotic Fluid Embolism Registry mengisyaratkan gambaran klinis yang serupa dengan yng dijumpai pada anafilaksis manusia dan tidak menyerupai fenomena emboli seperti yang selama ini dipahami (Clark dkk., 1995).
Cairan amnion masuk ke sirkulasi akibat rusaknya sawar fisiologis yang biasanya terdapat antara kompartemen ibu dan janin. Kejadian ini tampaknya sering berlangsung, kalau tidak mau dikatakan universal, dengan trofoblas dan skuama yang diduga berasal dari janin sering dijumpai di dalam sirkulasi ibu (Clark dkk., 1986). Ibu mungkin terpajan ke berbagai elemen janin sewaktu terminasi kehamilan, setelah amniosentesis atau trauma, atau yang lebih sering selama persalinan atau pelahiran saat berbentuk laserasi-laserasi kecil di segmen bawah uterus atau serviks. Selain itu, seksio sesarea memberikan banyak kesempatan terjadinya percampuran darah ibu dan jaringan janin.
Pada sebagian besar kasus, kejadian-kejadian ini tidak membahayakan. Namun, pada sebagian wanita, pemajanan ini memicu serangkaian reaksi fisiologis kompleks yang mirip dengan yang dijumpai pada anafilaksis dan sepsis. Proses serupa juga dibuktikan terjadi pada emboli lemak traumatik, suatu proses yang semula diperkirakan hanya melibatkan obstruksi vaskuler sederhana setelah trauma (Pelter, 1984). Kaskade patofisiologi kemungkinan besar disebabkan oleh sejumlah kemokin dan sitokin. Sebagai contoh, Khong (1998) mendapatkan ekspresi endotelin-1 yang intens pada skuama janin yang ditemukan di paru pada dua kasus fatal.
Temuan Klinis pada 84 Wanita dengan Emboli Cairan Amnion
Temuan klinis
|
Clark dkk. (1995)
(n=46)
|
Weiwen (2000)
(n=38)
|
Hipotensi
|
43
|
38
|
Gawat janin
|
30/30
|
TD
|
Edema paru atau ARDS
|
28/30
|
11
|
Henti kardiopulmonar
|
40
|
38
|
Sianosis
|
38
|
38
|
Koagulopati
|
38
|
12/16
|
Dipsnea
|
22/45
|
38
|
Kejang
|
22
|
6
|
Keteranangan tabel: ARDS=sindrom gawat nafas akut; TD= tidak disebutkan.
D. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan deskripsi awal bahwa cairan ketuban dan sel-sel janin memasuki sirkulasi ibu, mungkin memicu reaksi anafilaksis terhadap antigen janin. Namun, bahan janin tidak selalu ditemukan dalam sirkulasi ibu pada pasien dengan emboli air ketuban, dan materi berasal dari janin yang sering ditemukan pada wanita yang tidak mengembangkan emboli air ketuban.
Perjalanan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu tidak jelas, mungkin melalui laserasi pada vena endoservikalis selama diatasi serviks, sinus vena subplasenta, dan laserasi pada segmen uterus bagian bawah. Kemungkinan saat persalinan, selaput ketuban pecah dan pembuluh darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan yang tinggi, antara lain karena rasa mulas yang luar biasa, air ketuban beserta komponennya berkemungkinan masuk ke dalam sirkulasi darah. Walaupun cairan amnion dapat masuk sirkulasi darah tanpa mengakibatkan masalah tapi pada beberapa ibu dapat terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat yang sama dengan syok anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air ketuban tadi dapat menyumbat pembuluh darah di paru-paru ibu dan sumbatan di paru-paru meluas, lama kelamaan bisa menyumbat aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan sekaligus, yaitu pada jantung dan paru-paru. Pada fase I, akibat dari menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi vasospasme arteri koroner dan arteri pulmonalis. Sehingga menyebabkan aliran darah ke jantung kiri berkurang dan curah jantung menurun akibat iskemia myocardium. Mengakibatkan gagal jantung kiri dan gangguan pernafasan. Perempuan yang selamat dari peristiwa ini mungkin memasuki fase II. Ini adalah fase perdarahan yang ditandai dengan pendarahan besar dengan rahim atony dan Coagulation Intaravakuler Diseminata ( DIC ). Masalah koagulasi sekunder mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan hidup dalam kejadian awal. Dalam hal ini masih belum jelas cara cairan amnion mencetuskan pembekuan. Kemungkinan terjadi akibat dari embolisme air ketuban atau kontaminasi dengan mekonium atau sel-sel gepeng menginduksi koagulasi intravaskuler.
Studi-studi pada primata dengan menggunakan injeksi cairan amnion homolog, serta studi yang dilakukan secara cermat terhadap model kambing, menghasilkan pemahaman yang penting tentang kelainan hemodinamik sentral (Adamsons dkk., 1971; Hankins dkk., 1993; Stolte dkk., 1967). Setelah suatu fase awal hipertensi paru dan sistemik yang singkat, terjadi penurunan resistensi vaskular sistemik dan indeks kerja pulsasi ventrikel kiri (Clark dkk., 1988). Pada fase awal sering dijumpai desaturasi oksigen transien tetapi mencolok sehingga sebagian besar pasien yang selamat mengalami cedera neurologis (Harvey dkk., 1996). Pada wanita yang bertahan hidup melewati fase kolaps kardiovaskuler awal, sering terjadi fase sekunder berupa cedera paru dan koagulopati.
Keterkaitan hipertonisitas uterus dengan kolaps kardiovaskular tampaknya lebih berupa efek daripada kausa emboli cairan amnion (Clark.m 1995). Memang, aliran darah uterus berhenti total apabila tekanan intrauterin melebihi 35 sampai 40 mmHg (Towell, 1976). Dengan demikian, kontraksi hipertonik merupakan waktu yang paling kecil kemungkinannya terjadi pertukaran janin-ibu. Demikian juga, tidak terjadi hubungan sebab akibat antara pemakaian oksitosin dengan emboli cairan amnion dan frekuensi pemakaian oksitosin tidak meningkat pada para wanita ini (American College Of Obstetricians And Gynecologists, 1993).
Proses emboli cairan amnion/ sindrom anafilaktik pada kehamilan
Cairan amnion masuk ke dalam sirkulasi maternal
Patofisiologis tanda klinis yang mungkin muncul
Fase 1
Vasospasme pulmonal gangguan kondisi janin takipnea
Hipoksia syok ansietas
Hipotensi hipertonus uterus menggigil
Kolaps kardiovaskuler takikardia berkeringat
Sianosis konvulsi
Tidak bernafas henti jantung
Fase 2
Gagal ventrikel kiri perdarahan
Edema paru trombolisis (perdarahan dari jalur intravena)
Perdarahan kolaps kardivaskuler
Gangguan koagulasi
E. DIAGNOSIS
Dahulu, ditemukannya sel skuamosa atau debris lain yang berasal dari janin di sirkulasi paru sentral dianggap patogenomonik untuk emboli cairan amnion. Memang, pada kasus-kasus fatal, gambaran hispatologik mungkin dramatik, terutama pada kasus dengan cairan amnion yang tercemar mekonium. Namun, deteksi debris semacam ini mungkin memerlukan pewarnaan khusus yang ekstensif dan setelah itupun debris sering tidak ditemukan. Di national registry, elemen-elemen janin terdeteksi pada 75% autopsi dan 50% spesimen yang dibuat dari aspirat buffy coat pekat yang diambil dari kateterisasi arteri pulmonalis sebelum pasien meninggal. Selain itu, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa sel skuamosa, trofoblas, dan debris lain yang berasal dari janin mungkin sering ditemukan di sirkulasi sentral wanita dengan kondisi selain emboli cairan amnion. Dengan demikian, temuan ini tidak sensitif atau spesifik dan diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis yang khas.
Tanda-tanda dan gejala yang menunjukkan kemungkinan emboli cairan ketuban:
1. Ketika mencapai paru – paru akan menyebabkan penyumbatan kapiler paru-paru yang menyebabkan gangguan pada proses respirasi,dengan gejala dispnea,takipnea,nyeri dada,sianosis,edema paru,dan syok.
2. Dapat menyebabkan spasme kuat pembuluh kapiler paru lalun terjadi pengurangan cardiac output,hipertensi,bradikardi,serta nantinya akan berlanjut ke gagal jantung kanan akut dan hipoksemia.
3. Berlanjut menjadi hilang kesadaran,hal ini sekitar 25-50% dapat menyebabkan kematian dalam beberapa jam pertama (kematian mendadak).
4. Kematian sering terjadi pada emboli cairan amnion yang banyak mengandung debris partikel,misalnya: cairan amnion.Cepat lambatnya ibu meninggal bergantung pada jumlah cairan ketuban yang masuk ke sirkulasi ibu.
5. Reaksi anafilaktik mungkin terjadi emboli yang berasal dari fetus merupakan benda asing di dalam tubuh ibu.
6. Pendarahan hebat (HPP) akibat darah sulit membeku,karena adanya unsure tromboplastik dalam cairan amnion.Khususnya pendarahan pada traktus genetalis dan daerah yang mengalami trauma.
7. Trombositopenia berat timbul dan khasnya darah sulit membeku bila diberi thrombin atau maksimal membentuk bekuan kecil lalu segera mengalami lisis sempurna.
8. Tekanan darah turun secara signifikan dengan hilangnya diastolik pada saat pengukuran (Hipotensi )
9. Dyspnea, Batuk
10. Sianosis perifer dan perubahan pada membran mukosa akibat dari hipoksia.
11. Janin Bradycardia sebagai respon terhadap hipoksia, denyut jantung janin dapat turun hingga kurang dari 110 denyut per menit (dpm). Jika penurunan ini berlangsung selama 10 menit atau lebih, itu adalah Bradycardia. Sebuah tingkat 60 bpm atau kurang lebih 3-5 menit mungkin menunjukkan Bradycardia terminal.
12. Pulmonary edema, Cardiac arrest.
13. Rahim atony: atony uterus biasanya mengakibatkan pendarahan yang berlebihan setelah melahirkan.Kegagalan rahim untuk menjadi perusahaan dengan pijat bimanual diagnostik.
14. Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan lain (DIC terjadi di 83% pasien.)
F. PROGNOSIS
Angka kematian itu berkaitan dengan embolisme cairan amnion dilaporkan sangat beragam ( berkisar dari 25 hingga 90 persen ). Para wanita yang bertahan hidup sering mengalami kerusakan syaraf yang parah. Prognosis juga buruk bagi janin dan berkaitan dengan lama interval antara henti jantung ibu hingga pelahiran. Angka kesintasan neonates keseluruhan adalah sekitar 70 persen , tetapi hampir separuh dari bayi ini menderita sekuele gangguan syaraf.
Prognosis emboli cairan amnion yang buruk jelas berkaitan dengan bias pelaporan. Juga, sindrom ini kemungkinan besar kurang terdiagnosis (underdiagnosed), kecuali pada kasus-kasus yang sangat parah. Pada laporan-laporan national registry, angka kematian ibu adalah 60%. Di data dasar 1,1 juta persalinan di California oleh Gilbert dan Danielson (1999), hanya seperempat kasus yang dilaporkan yang meninggal. Weiwen (2000) menyajikan data awal dari 38 kasus di daerah Suzhou di Cina. Hampir 90% wanita dengan kasus ini meninggal. Kematian dapat terjadi sangat cepat, dan diantara 34 wanita yang meninggal dala penelitian di Cina, 12 meninggal dalam waktu 30 menit.
Kelainan neurologis yang parah sering terjadi pada mereka yang selamat. Di antara para wanita yang dilaporkan ke National Registry mengalami henti jantung disertai gejala-gejala awal, hanya 8% yang selamat tanpa mengalami kelainan neurologis. Hasil akhir juga buruk bagi janin kelompok wanita yang selamat tersebut dan berkaitan dengan interval henti jantung smpai pelahiran. Angka kelahiran hidup neonatus keseluruhan adalah 70%, tetapi hampir separuh menderita kelainan neurologis residual.
G. PENATALAKSANAAN
Walaupun pada awal perjalanan klinis emboli cairan amnion terjadi hipertensi sistemik dan pulmonal, fase ini bersifat sementara. Wanita yang dapat bertahan hidup setelah menjalani resusitasi jantung paru seyogyanya mendapat terapi yang ditujukan untuk oksigenasi dan membantu miokardium yang mengalami kegagalan. Tindakan yang menunjang sirkulasi serta pemberian darah dan komponen darah sangat penting dikerjakan. Belum ada data yang menyatakan bahwa ada suatu intervensi yang dapat memperbaiki prognosis ibu pada emboli cairan amnion. Wanita yang belum melahirkan dan mengalami henti jantung harus dipertimbangkan untuk melakukan seksio saesarea perimortem darurat sebagai upaya menyelamatkan janin. Namun, bagi ibu yang hemodinamikannya tidak stabil, tetapi belum mengalami henti jantung, pengambilan keputusan semacam itu menjadi semakin rumit.
Upaya preventif
1. Perhatikan indikasi induksi persalinan
2. Memecahkan ketuban saat akhir his, sehingga tekanannya tidak terlalu besar dan mengurangi masuk ke dalam pembuluh darah.
3. Saat seksio saserea, lakukan pengisapan air ketuban perlahan sehingga dapat mengurangi:
a. Asfiksia intrauteri
b. Emboli air ketuban melalui perlukaan lebar insisi operasi.
Pengobatan
1. Tindakan umum
a. Segera memasang infuse dua tempat sehingga cairan segera dapat diberikan, untuk mengatasi syok.
b. Berikan O2 dengan tekanan tinggi sehingga dapat menambahkan O2 dalam darah.
2. Untuk jantung dapat diberikan:
a. Resusitasi jantung dengan:
- Masase
- Mesin kardiopulmonari
b. Pemberian digitalis.
c. Atropine untuk mengurangi vasokonstriksi pembuluh darah dan paru.
d. Vasopressor: isoprotrenol
e. Diuretic untuk mengurangi edema.
3. Untuk paru obat “spasmolitik”.
a. Papaverine sehingga mengurangi spasme bronkus dan pembuluh darah paru.
4. Mengatasi anafilaksis syok
a. Antihistamin: promethazine.
b. Kortison dosis tinggi.
5. Mengatasi intravaskuler koagulasi:
a. Dipertimbangankan untuk memberikan heparin.
Keberhasilan pengobatan dan pengalaman untuk mengatasi emboli air ketuban tidak banyak.
|
| |||
|
| |||||||||
H. KOMPLIKASI
1. Terhadap Ibu
Koagulasi intravaskuler diseminata (Disseminnated Intravascular Coagulupati, DIC) cenderung terjadi pada 30 menit sejak awal kolaps. Pada beberapa kasus, ibu mengalami perdarahan hebat sebelum mengalami embolisme cairan amnion, yang memperburuk kondisinya. Pernah juga dilaporkan bahwa cairan amnion dapat menekan miometrium sehingga mengakibatkan atonia uterus. Hal ini selanjutnya menyebabkan perdarahan.
Gagal ginjal akut merupakan komplikasi kehilangan darah yang berlebihan dan hipotensi hipovolemik yang terlalu lama. Ibu memerlukan pengkajian haluaran urin yang kontinu, dengan menggunakan kateter indwelling. Bidan harus mencatan asupan cairan dan haluaran urine serta urinalisis secara akurat. Haluaran urine kurnag dari 30 ml per jam harus dilaporkan karena dapat terjadi proteinuria. Ibu diindikasikan untuk dipindahkan ke unit perawatan intensif guna mendapat asuhan keperawatan khusus. Asuhan dan saran kebidanan harus terus diberikan kepada keluarga.
Emboli air ketuban menyebabkan komplikasi dan gejala klinik yang bersumber dari:
a. Kardiovaskuler kolap
1) Air ketuban yang terhisap dengan benda padatnya (rambut lanogo, lemah, dan lainnya) menyumbat kapiler paru, sehingga terjadi hipertensi arteri pulmonum, edema paru, dan gangguan pertukaran O2 dan CO2.
2) Akibat hipertensi pulmonum menyebabkan
- Tekanan atrium kiri turun
- Cardiac output menurun
- Terjadinya penurunan tekanan darah sistemik yang mengakibatkan syok berat
3) Gangguan pertukaran O2 dan CO2 menyebabkan sesak napas, sianosis, dan gangguan pengaliran O2 ke jaringan yang mengakibatkan:
- Metabolic asidosis
- Anaerobic metabolisme
4) Edema paru dan gangguan pertukaran O2 dan CO2 menyebabkan:
- Terasa dada sakit, berat, dan panas.
- Penderita gelisah karena kekurangan O2.
- Dikeluarkannya histamine yang menyebabkan spasme bronkus dan sesak napas
5) Terjadinya reflek nervus vagus yang menyebabkan:
- Bradikardii.
- Vasokostriksi arteria koronea, menimbulkan gangguan kontraksi otot jantung dan dapat menimbulkan acute cardiac arrest.
6) Manifestasi keduanya menyebabkan syok dalam, kedinginan, dan sianosis.
7) Kematian dapat berlangsung sangat singkat dari 20 menit sampai 36 jam.
Penulis mengalami sekali kejadian emboli aair ketuban yang berakhir, dengan kematiaan dalam waktu 35 menit.
b. Gangguan pembekuan darah
1) Partikel air ketuban dapat menjadi inti pembekuan darah.
2) Mengandung factor X, yang dapat menjadi treger terjadinya intravaskuler koagulasi.
3) Mengaktifkan system fibrinolisis dan bekuan darah sehingga terjadi hipofibrinogemia dan menimbulkan perdarahan dari bekas implantasi plasenta.
4) Kekurangan O2 dan terjadinya anerobik metabolism dalam otot uterus, menyebabkan atonia uteri sehingga terjadi perdarahan.
Kedua komponen penting ini dapat menimbulkan syok dan terjadi kematian dalam waktu sangat singkat, sebelum sempat memberikan pertolongan adekuat.
2. Terhadap Janin
Angka mortalitas dan morbisitas perineal tinggi jiak embolisme cairan amnion terjadi sebelum kelahiran bayi. Keterlambatan dari awal kolaps maternal sampai pelahiran perlu diminimalkan untuk menghindari kematian atau gangguan kondisi janin. Namun demikian, resusitasi ibu pada saat itu tetap menjadi prioritas.
Hal penting terkait embolisme cairan amnion
1. Embolisme cairan amnion adalah penyebab utama kematian ibu di dunia.
2. Istilah yang sering digunakan merupakan istilah yang tidak tepat, tidak terdapat adanya embolisme.
3. Sekarang sudah dipahami bahwa hal ini merupakan respon anafilaktis terhadap cairan amnion yang memasuki sirkulasi maternal.
4. Gambaran umumnya adalah syok maternal dan distress janin, diikuti dengan dipsnea dan kolaps kardiovaskuler.
5. Dapat merupakan respon terhadap cairan amnion berapapun jumlahnya, tidak hanya yang berjumlah banyak.
6. Dapat terjadi kapanpun, kecuali persalinan dan dampaknya yang segera merupakan hal yang paling sering terjadi.
7. Harus dicurigai pada kasus kolaps mendadak atau perdarahan yang tidak terkendali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar